Selasa, 05 Februari 2013

Mengejar Sunrise Puncak Suroloyo

Waktu menunjukkan pukul 12 malam tepat ketika saya tiba dirumah seorang kawan. Ternyata, disana sudah berkumpul kawan-kawan yang lain yang akan ikut pergi. Ya, malam itu kami telah merencanakan untuk melakukan perjalanan menuju Puncak Suroloyo yang terletak di perbatasan Purworejo (Jawa Tengah) - Kulon Progo (Daerah Istimewa Yogyakarta). Perjalanan yang tidak seperti biasanya, dikarenakan kami berangkat dini hari buta ditengah cuaca dingin sehabis hujan deras yang mengguyur kota Jogja sedari sore sampai tengah malam, untuk mengejar munculnya sang Mentari dari garis batas cakrawala atau biasa disebut sunrise.

Berbekal informasi yang kami dapatkan lewat Internet dan mempelajari rute yang akan dituju, akhirnya diputuskan bahwa kami akan berangkat Sabtu malam atau Minggu dini hari. Berhubung tidak ada satupun dari anggota rombongan kami yang tahu jalan menuju Suroloyo, maka kami benar-benar menghapalkan rute dan medan menuju kesana secara teliti sebab kami berpikiran jika melakukan perjalanan dini hari maka akan jarang ada orang atau penduduk yang bisa kami tanyai jika tersesat.


Kurang lebih jam setengah 2-an, setelah mempersiapkan ransel, jaket, air minum, mengisi penuh bensin motor, mengecek kondisi ban, akhirnya kami berangkat ber-7 dengan menggunakan 4 motor. Kami mengambil rute Jalan Kaliurang - Ringroad Utara - Jombor - Seyegan - Nanggulan - Kalibawang - Suroloyo. Perkiraan waktu tempuh membutuhkan sekitar 2 jam perjalanan menurut kami, meskipun di GPS waktu tempuh dari titik awal kita berangkat hanya tertera selama 45 menitan saja. Saya dan kawan-kawan mempertimbangkan faktor-faktor lain seperti cuaca, kondisi jalan, dan lain sebagainya.

Di daerah Nanggulan, kami sempat tersesat karena mengikuti rute yang terdapat pada GPS yang ternyata mengarahkan rombongan kami menuju jalan kecil sempit dengan medan yang cukup ekstrem. Jalanan kampung yang aspalnya habis, kiri kanan jurang dan tebing, tanpa penerangan, medan terjal naik turun.

Beruntung, diatas kami bertemu seorang penduduk desa yang masih terbangun dan mendatangi kami yang sedang berdebat di atas motor untuk melanjutkan perjalanan lewat jalan itu atau engga. Penduduk itu memberi kami saran agar balik lagi menuju jalan utama dan lewat jalan lain untuk menuju ke atas, sebab jalanan yang akan kami lalui didepan cukup berbahaya dan tidak ada penerangan. Akhirnya kami memutuskan kembali lagi ke jalan utama.

Di daerah Kalibawang, kami berhenti di kantor polisi untuk bertanya arah jalan menuju Puncak Suroloyo sekaligus beristirahat sejenak. Setelah berhenti kurang lebih 10 menit, kami melanjutkan perjalanan lagi ke Puncak Suroloyo berbekal petunjuk yang didapat dari bapak-bapak Polisi tadi.

Entah karena kebablasan atau memang keadaan sekitar waktu itu gelap, akhirnya kami belok di jalan yang salah meskipun pada akhirnya jalan tersebut mengarah juga ke atas dan bertemu jalur utama ke Puncak Suroloyo. Jalanan yang kami lewati awalnya mulus beraspal dan menanjak terus, tidak ada halangan bagi rombongan kami melibas jalanan pada malam itu. Terkadang angin dingin kencang menerpa dari samping, tapi itu semua tidak terlalu mengganggu perjalanan kami. Sampai di satu titik, jalur yang kami lewati mulai tidak beraspal. Kalaupun ada aspalnya tetapi sudah tidak utuh dan terkelupas disana-sini.

Yang paling parah ketika jalanan aspal sudah habis dan berganti dengan jalan batu dan tanah yang sudah menjadi lumpur akibat mungkin dari hujan yang mengguyur kawasan ini semalaman. Saya dan kawan-kawan harus ekstra berhati-hati agar tidak terpeleset dan terjatuh. Teman-teman yang membonceng terpaksa turun dari motor dan berjalan kaki agar beban motor berkurang, sebab selain jalanan yang rusak parah, kontur jalur ini juga menanjak serta tidak adanya penerangan sedikitpun. Kami tidak menemui satupun rumah penduduk di jalur ini. Hanya ada pepohonan dan tebing di kanan serta jurang di kiri kami.

Kurang lebih 15 - 20 menit melibas jalur batu dan lumpur, akhirnya rombongan kami bertemu jalan utama menuju Puncak Suroloyo dengan aspal baru yang mulus. Saya dan kawan-kawan memutuskan berhenti sejenak untuk meluruskan kaki serta menunggu kawan kami yang berjalan kaki tadi. Setelah berkumpul semuanya, saya dan kawan-kawan melanjutkan perjalanan kembali ke atas.

Berhubung saat itu waktu masih menunjukkan sekitar pukul setengah 4-an pagi, maka kami tidak ditarik retribusi di depan gerbang masuk Puncak Suroloyo. Kami bergegas memarkirkan kendaraan masing-masing di warung yang terletak didekat tangga menuju ke Puncak Suroloyo. Ternyata, di situ banyak pengunjung lain yang mendirikan tenda di tanah lapang dibawah tangga menuju ke Puncak.

Tanpa membuang banyak waktu, setelah menitipkan kendaraan di warung serta minum untuk memulihkan tenaga, kami segera berjalan mendaki anak tangga yang terbuat dari semen yang akan membawa kami ke Puncak Suroloyo. Cuaca dingin dan suhu udara yang makin menipis serta anak tangga yang didaki semakin terjal keatas membuat saya harus berkali-kali berhenti ditengah perjalanan untuk mengatur nafas.

Akhirnya, setelah kurang lebih 15 menit mendaki ratusan anak tangga yang terbuat dari semen, kami semua mencapai Puncak Suroloyo dengan selamat. Waktu itu, yang ada diatas cuma ada rombongan kami saja. Kami segera menuju gardu pandang yang ada di Puncak dan beristirahat sembari menunggu kemunculan sunrise yang menurut informasi yang saya dapat, akan muncul dengan indahnya. Angin kencang, kabut tebal, serta gerimis menemani rombongan kami. Kami semua hanya bisa berdoa dan berharap, kabut segera hilang sehingga sunrise dapat terlihat dengan jelas.



Tidak berapa lama, pengunjung lain yang tadinya menginap di tenda di bawah mulai menaiki Puncak Suroloyo dan bergabung dengan rombongan kami diatas. Dari kejauhan, sayup-sayup terdengar kumandang adzan subuh di desa yang letaknya dibawah. Suasana menjadi sakral dan syahdu dengan kabut yang masih menyelimuti Puncak Suroloyo. Sebagian dari kami berbaur dengan pengunjung lainnya melaksanakan ibadah wajib solat Subuh. Sungguh suasana yang menakjubkan, beribadah dengan beralaskan jas hujan diatas Puncak Suroloyo bersimpuh kepada Sang Pencipta dan mensyukuri ciptaan-Nya.



Jam ditangan menunjukkan pukul 5 pagi ketika secara perlahan sang Mentari menampakkan sinarnya dari balik punggung bukit sebelah timur. Salah satu kawan mengeluarkan senjatanya, yaitu kamera profesional dan mulai mencari spot yang tepat untuk mengambil gambar. Lampu-lampu kota yang terlihat dari atas Puncak mulai terlihat dipadamkan, tetapi kabut tebal masih menyelimuti Puncak Suroloyo. Saya tetap optimis sekaligus berdoa supaya kabut cepat hilang supaya landscape yang ada didepan mata terlihat jelas.

Saya dan kawan-kawan mulai menunggu dan tidak sabar untuk menikmati apa yang ada di depan mata kami. Tetapi, sepertinya kabut enggan beranjak dari Puncak Suroloyo. Satu saat mereka hilang tetapi dengan cepat tergantikan oleh kabut yang tak kalah tebalnya. Dari kejauhan, ketika kabut mulai menipis, saya melihat kompleks candi Borobudur secara samar-samar dari Puncak Suroloyo. Indah. Candi Borobudur berdiri megah dengan latar belakang pegunungan dan sawah-sawah yang ada disekelilingnya. Seperti lukisan buatan Tuhan yang tampak sempurna.









Akhirnya, setelah hampir 2 jam menunggu tidak ada tanda-tanda kabut hilang, kami semua menyerah. Kami tidak mendapatkan sunrise seperti yang telah saya dan kawan-kawan rencanakan dalam perjalanan ini. Tetapi, saya tidak menyesal karena telah menyaksikan pemandangan kota Muntilan dan Candi Borobudur secara jelas di kejauhan ketika kabut mulai menipis. Sangat indah berpadu dengan suasana sejuk khas pegunungan Menoreh.

Sekitar pukul 7 pagi kami semua menuruni tangga dan tidak lupa mengabadikan momen-momen yang kami dapat di Puncak Suroloyo. Sampai bawah, saya dan kawan-kawan memutuskan untuk sarapan di warung. Setelah kenyang, kami semua memutuskan untuk kembali ke Jogja. Kali ini kami tidak melewati jalur yang semalam kami lewati, tetapi melalui jalur utama yang juga merupakan jalur ke Sendang Sono, yang belum sempat kami kunjungi karena keterbatasan waktu.

Pemandangan yang saya dapat selama perjalanan pulang sangat mengagumkan, membuat saya lupa akan kecewanya saya yang tidak berhasil mendapatkan sunrise di Suroloyo. Kiri-kanan jalan merupakan deretan pegunungan Menoreh dengan sawah dan ladang milik penduduk sekitar sebagai penghias pemandangan yang sangat indah. Para penduduk lokal yang kami temui tampak sedang berjalan menuju ke sawah mereka masing-masing. Kami menyapa mereka dan mereka membalas sapaan kami dengan ramah dan sangat kekeluargaan.

Tiba di jalan raya Kalibawang-Nanggulan, seorang kawan saya mendadak kepengen durian yang banyak dijual di pinggiran jalan raya tersebut. Disitu saya baru tahu, bahwa daerah Kalibawang terkenal akan kelezatan durian nya se-Jogjakarta. Pantas saja didaerah itu banyak yang menjual durian. Akhirnya, kami memutuskan untuk berhenti sejenak sembari menikmati buah durian khas Kalibawang. Saya sendiri tidak ikut makan sebab saya tidak suka durian. Sayang memang, buah yang terkenal akan kelezatannya, tetapi saya sendiri tidak doyan.

Ternyata, perjalanan pulang ke Jogjakarta dari Suroloyo bisa ditempuh selama kurang lebih satu jam dengan kecepatan normal.  Seandainya semalam kami tidak nyasar dan tahu jalan mungkin kami bisa mencapai Suroloyo dengan waktu yang lebih cepat. Disarankan bagi yang hendak menuju Suroloyo memakai kendaraan pribadi dengan kondisi kendaraan yang benar-benar fit untuk melakukan perjalanan sebab tanjakan-tanjakan menuju ke sana sangat curam serta berliku-liku, meskipun sekarang jalur utama menuju kesana sudah beraspal halus. Jangan lupa membawa jaket untuk melindungi badan dari angin dan cuaca khas pegunungan. Berangkat sebelum pukul 3 pagi bagi yang ingin mendapatkan sunrise jika cuaca diatas cukup cerah tidak berkabut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar