Waktu
menunjukkan pukul 12 malam tepat ketika saya tiba dirumah seorang kawan. Ternyata,
disana sudah berkumpul kawan-kawan yang lain yang akan ikut pergi. Ya, malam
itu kami telah merencanakan untuk melakukan perjalanan menuju Puncak Suroloyo
yang terletak di perbatasan Purworejo (Jawa Tengah) - Kulon Progo (Daerah
Istimewa Yogyakarta). Perjalanan yang tidak seperti biasanya, dikarenakan kami
berangkat dini hari buta ditengah cuaca dingin sehabis hujan deras yang
mengguyur kota Jogja sedari sore sampai tengah malam, untuk mengejar munculnya
sang Mentari dari garis batas cakrawala atau biasa disebut sunrise.
Berbekal
informasi yang kami dapatkan lewat Internet dan mempelajari rute yang akan
dituju, akhirnya diputuskan bahwa kami akan berangkat Sabtu malam atau Minggu
dini hari. Berhubung tidak ada satupun dari anggota rombongan kami yang tahu
jalan menuju Suroloyo, maka kami benar-benar menghapalkan rute dan medan menuju
kesana secara teliti sebab kami berpikiran jika melakukan perjalanan dini hari
maka akan jarang ada orang atau penduduk yang bisa kami tanyai jika tersesat.
Kurang
lebih jam setengah 2-an, setelah mempersiapkan ransel, jaket, air minum,
mengisi penuh bensin motor, mengecek kondisi ban, akhirnya kami berangkat ber-7
dengan menggunakan 4 motor. Kami mengambil rute Jalan Kaliurang - Ringroad Utara - Jombor - Seyegan - Nanggulan -
Kalibawang - Suroloyo. Perkiraan waktu tempuh membutuhkan sekitar 2 jam
perjalanan menurut kami, meskipun di GPS waktu tempuh dari titik awal kita
berangkat hanya tertera selama 45 menitan saja. Saya dan kawan-kawan
mempertimbangkan faktor-faktor lain seperti cuaca, kondisi jalan, dan lain
sebagainya.
Di daerah
Nanggulan, kami sempat tersesat karena mengikuti rute yang terdapat pada GPS
yang ternyata mengarahkan rombongan kami menuju jalan kecil sempit dengan medan
yang cukup ekstrem. Jalanan kampung yang aspalnya habis, kiri kanan jurang dan
tebing, tanpa penerangan, medan terjal naik turun.
Beruntung,
diatas kami bertemu seorang penduduk desa yang masih terbangun dan mendatangi
kami yang sedang berdebat di atas motor untuk melanjutkan perjalanan lewat
jalan itu atau engga. Penduduk itu memberi kami saran agar balik lagi menuju
jalan utama dan lewat jalan lain untuk menuju ke atas, sebab jalanan yang akan
kami lalui didepan cukup berbahaya dan tidak ada penerangan. Akhirnya kami
memutuskan kembali lagi ke jalan utama.
Di daerah
Kalibawang, kami berhenti di kantor polisi untuk bertanya arah jalan menuju
Puncak Suroloyo sekaligus beristirahat sejenak. Setelah berhenti kurang lebih
10 menit, kami melanjutkan perjalanan lagi ke Puncak Suroloyo berbekal petunjuk
yang didapat dari bapak-bapak Polisi tadi.
Entah
karena kebablasan atau memang keadaan sekitar waktu itu gelap, akhirnya kami
belok di jalan yang salah meskipun pada akhirnya jalan tersebut mengarah juga
ke atas dan bertemu jalur utama ke Puncak Suroloyo. Jalanan yang kami lewati
awalnya mulus beraspal dan menanjak terus, tidak ada halangan bagi rombongan
kami melibas jalanan pada malam itu. Terkadang angin dingin kencang menerpa
dari samping, tapi itu semua tidak terlalu mengganggu perjalanan kami. Sampai
di satu titik, jalur yang kami lewati mulai tidak beraspal. Kalaupun ada
aspalnya tetapi sudah tidak utuh dan terkelupas disana-sini.
Yang
paling parah ketika jalanan aspal sudah habis dan berganti dengan jalan batu
dan tanah yang sudah menjadi lumpur akibat mungkin dari hujan yang mengguyur
kawasan ini semalaman. Saya dan kawan-kawan harus ekstra berhati-hati agar
tidak terpeleset dan terjatuh. Teman-teman yang membonceng terpaksa turun dari
motor dan berjalan kaki agar beban motor berkurang, sebab selain jalanan yang
rusak parah, kontur jalur ini juga menanjak serta tidak adanya penerangan
sedikitpun. Kami tidak menemui satupun rumah penduduk di jalur ini. Hanya ada
pepohonan dan tebing di kanan serta jurang di kiri kami.
Kurang
lebih 15 - 20 menit melibas jalur batu dan lumpur, akhirnya rombongan kami
bertemu jalan utama menuju Puncak Suroloyo dengan aspal baru yang mulus. Saya
dan kawan-kawan memutuskan berhenti sejenak untuk meluruskan kaki serta
menunggu kawan kami yang berjalan kaki tadi. Setelah berkumpul semuanya, saya
dan kawan-kawan melanjutkan perjalanan kembali ke atas.
Berhubung
saat itu waktu masih menunjukkan sekitar pukul setengah 4-an
pagi, maka kami tidak ditarik retribusi di depan gerbang masuk Puncak Suroloyo.
Kami bergegas memarkirkan kendaraan masing-masing di warung yang terletak
didekat tangga menuju ke Puncak Suroloyo. Ternyata, di situ banyak pengunjung
lain yang mendirikan tenda di tanah lapang dibawah tangga menuju ke Puncak.
Tanpa
membuang banyak waktu, setelah menitipkan kendaraan di warung serta minum untuk
memulihkan tenaga, kami segera berjalan mendaki anak tangga yang terbuat dari
semen yang akan membawa kami ke Puncak Suroloyo. Cuaca dingin dan suhu udara yang
makin menipis serta anak tangga yang didaki semakin terjal keatas membuat saya
harus berkali-kali berhenti ditengah perjalanan untuk mengatur nafas.
Akhirnya,
setelah kurang lebih 15 menit mendaki ratusan anak tangga yang terbuat dari
semen, kami semua mencapai Puncak Suroloyo dengan selamat. Waktu itu, yang ada
diatas cuma ada rombongan kami saja. Kami segera menuju gardu pandang yang ada
di Puncak dan beristirahat sembari menunggu kemunculan sunrise yang menurut informasi yang saya dapat, akan muncul dengan
indahnya. Angin kencang, kabut tebal, serta gerimis menemani rombongan kami.
Kami semua hanya bisa berdoa dan berharap, kabut segera hilang sehingga sunrise dapat terlihat dengan jelas.
Tidak
berapa lama, pengunjung lain yang tadinya menginap di tenda di bawah mulai
menaiki Puncak Suroloyo dan bergabung dengan rombongan kami diatas. Dari
kejauhan, sayup-sayup terdengar kumandang adzan subuh di desa yang letaknya
dibawah. Suasana menjadi sakral dan syahdu dengan kabut yang masih menyelimuti
Puncak Suroloyo. Sebagian dari kami berbaur dengan pengunjung lainnya
melaksanakan ibadah wajib solat Subuh. Sungguh suasana yang menakjubkan,
beribadah dengan beralaskan jas hujan diatas Puncak Suroloyo bersimpuh kepada
Sang Pencipta dan mensyukuri ciptaan-Nya.
Jam
ditangan menunjukkan pukul 5 pagi ketika secara perlahan sang Mentari
menampakkan sinarnya dari balik punggung bukit sebelah timur. Salah satu kawan
mengeluarkan senjatanya, yaitu kamera profesional dan mulai mencari spot yang
tepat untuk mengambil gambar. Lampu-lampu kota yang terlihat dari atas Puncak
mulai terlihat dipadamkan, tetapi kabut tebal masih menyelimuti Puncak
Suroloyo. Saya tetap optimis sekaligus berdoa supaya kabut cepat hilang supaya landscape yang ada didepan mata terlihat
jelas.
Saya dan
kawan-kawan mulai menunggu dan tidak sabar untuk menikmati apa yang ada di
depan mata kami. Tetapi, sepertinya kabut enggan beranjak dari Puncak Suroloyo.
Satu saat mereka hilang tetapi dengan cepat tergantikan oleh kabut yang tak
kalah tebalnya. Dari kejauhan, ketika kabut mulai menipis, saya melihat
kompleks candi Borobudur secara samar-samar dari Puncak Suroloyo. Indah. Candi
Borobudur berdiri megah dengan latar belakang pegunungan dan sawah-sawah yang
ada disekelilingnya. Seperti lukisan buatan Tuhan yang tampak sempurna.
Akhirnya,
setelah hampir 2 jam menunggu tidak ada tanda-tanda kabut hilang, kami semua
menyerah. Kami tidak mendapatkan sunrise
seperti yang telah saya dan kawan-kawan rencanakan dalam perjalanan ini.
Tetapi, saya tidak menyesal karena telah menyaksikan pemandangan kota Muntilan
dan Candi Borobudur secara jelas di kejauhan ketika kabut mulai menipis. Sangat
indah berpadu dengan suasana sejuk khas pegunungan Menoreh.
Sekitar
pukul 7 pagi kami semua menuruni tangga dan tidak lupa mengabadikan momen-momen
yang kami dapat di Puncak Suroloyo. Sampai bawah, saya dan kawan-kawan
memutuskan untuk sarapan di warung. Setelah kenyang, kami semua memutuskan
untuk kembali ke Jogja. Kali ini kami tidak melewati jalur yang semalam kami
lewati, tetapi melalui jalur utama yang juga merupakan jalur ke Sendang Sono,
yang belum sempat kami kunjungi karena keterbatasan waktu.
Pemandangan
yang saya dapat selama perjalanan pulang sangat mengagumkan, membuat saya lupa
akan kecewanya saya yang tidak berhasil mendapatkan sunrise di Suroloyo.
Kiri-kanan jalan merupakan deretan pegunungan Menoreh dengan sawah dan ladang
milik penduduk sekitar sebagai penghias pemandangan yang sangat indah. Para
penduduk lokal yang kami temui tampak sedang berjalan menuju ke sawah mereka
masing-masing. Kami menyapa mereka dan mereka membalas sapaan kami dengan ramah
dan sangat kekeluargaan.
Tiba di
jalan raya Kalibawang-Nanggulan, seorang kawan saya mendadak kepengen durian
yang banyak dijual di pinggiran jalan raya tersebut. Disitu saya baru tahu,
bahwa daerah Kalibawang terkenal akan kelezatan durian nya se-Jogjakarta.
Pantas saja didaerah itu banyak yang menjual durian. Akhirnya, kami memutuskan
untuk berhenti sejenak sembari menikmati buah durian khas Kalibawang. Saya
sendiri tidak ikut makan sebab saya tidak suka durian. Sayang memang, buah yang
terkenal akan kelezatannya, tetapi saya sendiri tidak doyan.
Ternyata,
perjalanan pulang ke Jogjakarta dari Suroloyo bisa ditempuh selama kurang lebih
satu jam dengan kecepatan normal.
Seandainya semalam kami tidak nyasar dan tahu jalan mungkin kami bisa
mencapai Suroloyo dengan waktu yang lebih cepat. Disarankan bagi yang hendak
menuju Suroloyo memakai kendaraan pribadi dengan kondisi kendaraan yang benar-benar
fit untuk melakukan perjalanan sebab tanjakan-tanjakan menuju ke sana sangat
curam serta berliku-liku, meskipun sekarang jalur utama menuju kesana sudah
beraspal halus. Jangan lupa membawa jaket untuk melindungi badan dari angin dan
cuaca khas pegunungan. Berangkat sebelum pukul 3 pagi bagi yang ingin
mendapatkan sunrise jika cuaca diatas
cukup cerah tidak berkabut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar